Oleh:
Wahyoko Fajar
Semenjak aturan pelarangan pedagang asongan di dalam kereta api maupun
area stasiun yang diberlakukan bertahap pada masa kepemimpinan Ignasius Jonan
sebagai Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia (Persero) circa 2009
lalu, ada satu hal yang hilang dari luasan rasa pangrasaku terhadap
dunia perkeretaapian. Terlepas dari segala pro kontra yang menyertai dan segala
baik buruknya, saya pribadi tak ingin ikut terbawa wacana tersebut. Peraturan
yang berlaku di seluruh wilayah kendali PT. KAI itu otomatis juga berlaku di
wilayah DAOP 9 Jember. Sebuah daerah operasi yang membentang sejak lepas stasiun
Bangil arah Pasuruan hingga ujung timur Pulau Jawa.
Jujur, walau ikut senang dan nyaman karena wajah stasiun kini tampak
terawat dan tidak kumuh, pun kereta api yang tak lagi berjejal antara penumpang
dengan pengasong, namun tetap saja ada satu sisi yang membuat saya sedikit
tergelitik tuk bernostalgia tentang masa itu. Masa di mana pengasong masih
menjadi bagian tak terpisahkan dari sosiologi masyarakat kereta.
Saya sengaja memilih DAOP 9 karena di situlah saya lahir dan
dibesarkan. Sehingga otomatis di DAOP itu pula saya mulai mengenal dan jatuh
hati pada moda yang satu ini.
Tak banyak kereta reguler yang menuju atau dari DAOP ini. Untuk K3
saja, saat ini hanya ada Logawa, Sritanjung, Probowangi, Pandanwangi, dan Tawangalun.
Nafikan sejenak Si Elok Mutiara Timur, "almarhum" KA Jember-Panarukan,
atau Si Bungsu Ranggajati, karena pengasong yang akan saya ceritakan kali ini
adalah mereka yang dulu biasa hilir mudik di K3 yang telah saya sebutkan di
atas. Untuk mempermudah, kita samakan persepsi terlebih dahulu. Saya akan urut
dari sisi barat. Saya juga akan membaginya ke dalam 3 wilayah yang bukan
merupakan patokan baku. Wilayah pertama adalah Bangil-Probolinggo. Wilayah kedua
adalah Probolinggo-Jatiroto atau Tanggul. Wilayah ketiga adalah Jatiroto-Tanggul
hingga Banyuwangi Baru.
Bangil --walau sebenarnya stasiun ini masuk wilayah DAOP 8 Surabaya--
bisa dikatakan terminal awal --juga akhir-- arus shift pengasong --juga
pengamen dan pengemis yang tidak akan saya bahas dalam tulisan ini--. Pengasong
dari arah Surabaya maupun Malang akan turun dan berganti shift menuju
timur di stasiun ini. Para pengasong "shift pertama" tersebut nantinya
kebanyakan akan turun di Stasiun Probolinggo. Menu andalan di wilayah pertama
ini adalah apalagi kalau bukan sate kerang. Lima sampai enam (5-6) daging
kerang yang telah ditusuk lidi dibungkus dengan daun pisang berisi 4-5 tusuk.
Harganya murah meriah, hanya kisaran 2000 per 3 bungkus.
Bergeser ke wilayah dua. Zona inilah yang bagi saya paling berkesan
karena beragamnya barang yang ditawarkan. Bukan hanya beragam namun juga agak
tidak lazim, tetapi mampu menampilkan sekilas wajah wilayah Kabupaten Lumajang yang
subur makmur gemah ripah loh jinawi. Ditambah para pengasong yang
kebanyakan bertutur dengan logat campuran Jawa-Madura, tuntaslah keunikan
wilayah ini. Begitu serbaneka barang yang dijual sehingga saya hanya sedikit
mengambil amsal sebagai contoh. Barang dagangan yang umum di wilayah ini adalah
pisang segar berbagai varietas, nangka,
salak, dan jeruk semboro, beserta aneka hasil olahannya, seperti sale dan keripik;
petai; lamtoro; hingga tupai dan berjenis-jenis burung hidup.
Bergeser lagi ke zona tiga yang saya cakupkan antara Stasiun Jatiroto
--banyak juga pengasong yang berganti shift di Stasiun Tanggul-- hingga terminus
ad quem Stasiun Banyuwangi Baru. Bagi yang melewati zona ini arah timur dengan
Sritanjung dan Tawangalun bersiaplah gigit jari. Gapeka yang mengharuskan kedua
kereta tersebut melewati wilayah ini setelah mentari terbenam membuat banyak
pengasong hanya turut sampai Stasiun Jember. Selebihnya, hanya ada sedikit
sekali pengasong yang tampak hingga tujuan akhir kereta. Juga, Anda tidak akan bisa
melihat keindahan jalur berkelok di Gumitir dengan kedua terowongannya yang
telah berumur lebih dari seabad, tetapi kalau Anda melalui jalur ini di siang
hari, ada 2 kudapan yang menurut hemat saya harus dicoba. Pertama adalah biji kedawung
goreng. Biji dari tanaman herbal penuh manfaat yang bukan hanya bercita rasa
unik. Namun, juga kaya khasiat bagi tubuh. Silakan ramban melalui ponsel pintar
kalau Anda belum pernah mengetahui tentang kedawung beserta manfaatnya. Namun,
saya tidak menyarankan untuk memakan biji ini banyak-banyak, karena salah satu
khasiat biji ini adalah pelancar pencernaan. Sehingga kasihan rekan duduk sebelah
kalau sampai mencium aroma khas kentut Anda. Kedua adalah pecel pincuk Garahan
nan legendaris.
Mari fokus sejenak tentang pecel tersebut. Sejauh yang saya ketahui,
pecel yang terkenal di masyarakat kereta ada 2, yaitu pecel Kertosono dan pecel
Garahan. Walau secara esensi sama-sama berwujud pecel, namun ada beberapa yang
membedakan keduanya.
Pertama, dari segi cita rasa pastinya. Tak usah saya berpanjang
lebar menjelaskan, biarlah itu menjadi urusan mereka yang merasa sebagai ahli
kuliner.
Kedua adalah cara penyajian. Kalau di Kertosono, afdalnya penumpang
turun untuk membeli langsung di warung samping stasiun; beradu cepat dengan
kereta yang berhenti sejenak atau pengisi waktu senggang ketika lokomotif --umumnya
Rapih Dhoho-- sedang berpindah posisi. Sedangkan kalau di Garahan jauh lebih
unik dan menantang.
Nasi putih yang telah disajikan dalam pincukan daun jati atau
pisang ditata melingkar di pinggir nampan bambu. Di tengahnya bersanding wadah
berisi serbaneka sayuran, sambal pecel, dan kerupuk. Para pedagang yang umumnya
ibu-ibu berjajar rapi di peron stasiun untuk segera merapat ke kedua sisi
kereta begitu ada kereta yang berhenti di stasiun Garahan. Pecel yang terakhir
saya ketahui dibandrol 6000 rupiah per porsi nantinya disodorkan melalui
jendela-jendela dan pintu kereta mirip kalau kita drivethru di restoran cepat
saji.
Setali tiga uang dengan kondisi di dalam kereta. Para penumpang yang
umumnya sudah hafal dengan fenomena tersebut segera mendekat ke jendela kereta
yang saat itu masih bisa dibuka. Bagi yang tidak kebagian jendela, biasanya
mereka menuju bordes. Bahkan, ada yang turun langsung agar lebih leluasa
memilih. Lapar atau tidak bukan hal utama, karena terasa ada yang kurang pabila
singgah di stasiun kelas 3 ini namun tidak mencicipi pecel Garahan.
Apabila ada pembeli, para pedagang langsung mengambil pincukan nasi
sesuai jumlah pesanan, menaburi dengan sayuran yang tersedia, dan sambal pecel
sebagai akhiran, oh ya...jangan lupa kerupuk sebagai pelengkap. Pranata cara
penyajian tersebut dilakukan dengan kecepatan super. Jangan heran kalau pesanan
10 porsi pun bisa tersaji kurang dari semenit. Sebuah hukum keharusan karena
"keretaku tak berhenti lama..."
Karena beragamnya sayuran yang disajikan dan keterbatasan waktu dan
tempat untuk memilih, ada lelucon jamak yang terdengar antar penumpang setelah
membeli pecel Garahan.
"Sampean oleh jangan opo?"
"Jangan kenikir karo cambah. Lha, sampean?"
"Ndekku godong kates. Pait"
"Hahaha...."
Dialog singkat pengakrab suasana antar penumpang yang tidak saling
kenal nama. Tragisnya, dialog dan lelucon tersebut kini tinggal kenangan walau
pecel Garahan sekarang tetap bisa dinikmati di warung-warung sepanjang jalan
Desa Garahan.
Masih banyak sekali varian barang asongan DAOP ini yang tidak saya
ceritakan. Misal tahu asin, tahu petis, telur puyuh, rujak manis dan pedas,
keripik usus, hingga jasa tensimeter dan pulsa keliling.
Lalu pertanyaan besarnya sekarang adalah ke mana para pengasong
tersebut setelah aturan larangan diberlakukan? Entahlah. Sedikit yang saya
tahu, ada beberapa yang kemudian tetap mengasong di tempat wisata di sekitaran
Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.
Humanisne masyarakat kereta tersebut kini telah tiada. Bukan hanya
di DAOP 9 JR, juga di DAOP lainnya. Anak sekarang hanya mengerti tentang nasi
goreng hambar ala restorasi kereta, Hokben, CFC, Roti O, Roti Boy, Alfamart,
dan Indomart, serta pemodal besar lain yang kian masuk menjajah stasiun kita.
Yang mereka butuhkan adalah penataan, bukan pengusiran. Tapi,
ahh....saya ini siapa. Saya hanyalah sebutir debu usang di antara luasan
masyarakat kereta yang kian modern.
Kalau ada dari kalian yang mengenal eks pengasong kereta tersebut,
tolong sampaikan salam kangen saya pada mereka. Semoga Allah Swt memberi mereka
jalan yang lebih baik dan barokah ketimbang sebelumnya. Aamiin...
Wahyoko
Fajar. Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Bisa disapa melalui akun twitter
@wahyokofajar