Senin, 05 Maret 2018

Elegi Asong DAOP 9 JR


Oleh: Wahyoko Fajar

Semenjak aturan pelarangan pedagang asongan di dalam kereta api maupun area stasiun yang diberlakukan bertahap pada masa kepemimpinan Ignasius Jonan sebagai Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia (Persero) circa 2009 lalu, ada satu hal yang hilang dari luasan rasa pangrasaku terhadap dunia perkeretaapian. Terlepas dari segala pro kontra yang menyertai dan segala baik buruknya, saya pribadi tak ingin ikut terbawa wacana tersebut. Peraturan yang berlaku di seluruh wilayah kendali PT. KAI itu otomatis juga berlaku di wilayah DAOP 9 Jember. Sebuah daerah operasi yang membentang sejak lepas stasiun Bangil arah Pasuruan hingga ujung timur Pulau Jawa.
 
Pedagang Asongan di Stasiun Kalibaru
(Sumber: dokumen pribadi Wahyoko Fajar)
Jujur, walau ikut senang dan nyaman karena wajah stasiun kini tampak terawat dan tidak kumuh, pun kereta api yang tak lagi berjejal antara penumpang dengan pengasong, namun tetap saja ada satu sisi yang membuat saya sedikit tergelitik tuk bernostalgia tentang masa itu. Masa di mana pengasong masih menjadi bagian tak terpisahkan dari sosiologi masyarakat kereta.

Saya sengaja memilih DAOP 9 karena di situlah saya lahir dan dibesarkan. Sehingga otomatis di DAOP itu pula saya mulai mengenal dan jatuh hati pada moda yang satu ini.

Tak banyak kereta reguler yang menuju atau dari DAOP ini. Untuk K3 saja, saat ini hanya ada Logawa, Sritanjung, Probowangi, Pandanwangi, dan Tawangalun. Nafikan sejenak Si Elok Mutiara Timur, "almarhum" KA Jember-Panarukan, atau Si Bungsu Ranggajati, karena pengasong yang akan saya ceritakan kali ini adalah mereka yang dulu biasa hilir mudik di K3 yang telah saya sebutkan di atas. Untuk mempermudah, kita samakan persepsi terlebih dahulu. Saya akan urut dari sisi barat. Saya juga akan membaginya ke dalam 3 wilayah yang bukan merupakan patokan baku. Wilayah pertama adalah Bangil-Probolinggo. Wilayah kedua adalah Probolinggo-Jatiroto atau Tanggul. Wilayah ketiga adalah Jatiroto-Tanggul hingga Banyuwangi Baru.

Bangil --walau sebenarnya stasiun ini masuk wilayah DAOP 8 Surabaya-- bisa dikatakan terminal awal --juga akhir-- arus shift pengasong --juga pengamen dan pengemis yang tidak akan saya bahas dalam tulisan ini--. Pengasong dari arah Surabaya maupun Malang akan turun dan berganti shift menuju timur di stasiun ini. Para pengasong "shift pertama" tersebut nantinya kebanyakan akan turun di Stasiun Probolinggo. Menu andalan di wilayah pertama ini adalah apalagi kalau bukan sate kerang. Lima sampai enam (5-6) daging kerang yang telah ditusuk lidi dibungkus dengan daun pisang berisi 4-5 tusuk. Harganya murah meriah, hanya kisaran 2000 per 3 bungkus.

Bergeser ke wilayah dua. Zona inilah yang bagi saya paling berkesan karena beragamnya barang yang ditawarkan. Bukan hanya beragam namun juga agak tidak lazim, tetapi mampu menampilkan sekilas wajah wilayah Kabupaten Lumajang yang subur makmur gemah ripah loh jinawi. Ditambah para pengasong yang kebanyakan bertutur dengan logat campuran Jawa-Madura, tuntaslah keunikan wilayah ini. Begitu serbaneka barang yang dijual sehingga saya hanya sedikit mengambil amsal sebagai contoh. Barang dagangan yang umum di wilayah ini adalah  pisang segar berbagai varietas, nangka, salak, dan jeruk semboro, beserta aneka hasil olahannya, seperti sale dan keripik; petai; lamtoro; hingga tupai dan berjenis-jenis burung hidup.
 
Stasiun Sumber Wadung dan geliat masyarakatnya
(Sumber: dokumen pribadi Wahyoko Fajar)
Bergeser lagi ke zona tiga yang saya cakupkan antara Stasiun Jatiroto --banyak juga pengasong yang berganti shift di Stasiun Tanggul-- hingga terminus ad quem Stasiun Banyuwangi Baru. Bagi yang melewati zona ini arah timur dengan Sritanjung dan Tawangalun bersiaplah gigit jari. Gapeka yang mengharuskan kedua kereta tersebut melewati wilayah ini setelah mentari terbenam membuat banyak pengasong hanya turut sampai Stasiun Jember. Selebihnya, hanya ada sedikit sekali pengasong yang tampak hingga tujuan akhir kereta. Juga, Anda tidak akan bisa melihat keindahan jalur berkelok di Gumitir dengan kedua terowongannya yang telah berumur lebih dari seabad, tetapi kalau Anda melalui jalur ini di siang hari, ada 2 kudapan yang menurut hemat saya harus dicoba. Pertama adalah biji kedawung goreng. Biji dari tanaman herbal penuh manfaat yang bukan hanya bercita rasa unik. Namun, juga kaya khasiat bagi tubuh. Silakan ramban melalui ponsel pintar kalau Anda belum pernah mengetahui tentang kedawung beserta manfaatnya. Namun, saya tidak menyarankan untuk memakan biji ini banyak-banyak, karena salah satu khasiat biji ini adalah pelancar pencernaan. Sehingga kasihan rekan duduk sebelah kalau sampai mencium aroma khas kentut Anda. Kedua adalah pecel pincuk Garahan nan legendaris.

Mari fokus sejenak tentang pecel tersebut. Sejauh yang saya ketahui, pecel yang terkenal di masyarakat kereta ada 2, yaitu pecel Kertosono dan pecel Garahan. Walau secara esensi sama-sama berwujud pecel, namun ada beberapa yang membedakan keduanya.

Pertama, dari segi cita rasa pastinya. Tak usah saya berpanjang lebar menjelaskan, biarlah itu menjadi urusan mereka yang merasa sebagai ahli kuliner.

Kedua adalah cara penyajian. Kalau di Kertosono, afdalnya penumpang turun untuk membeli langsung di warung samping stasiun; beradu cepat dengan kereta yang berhenti sejenak atau pengisi waktu senggang ketika lokomotif --umumnya Rapih Dhoho-- sedang berpindah posisi. Sedangkan kalau di Garahan jauh lebih unik dan menantang.

Nasi putih yang telah disajikan dalam pincukan daun jati atau pisang ditata melingkar di pinggir nampan bambu. Di tengahnya bersanding wadah berisi serbaneka sayuran, sambal pecel, dan kerupuk. Para pedagang yang umumnya ibu-ibu berjajar rapi di peron stasiun untuk segera merapat ke kedua sisi kereta begitu ada kereta yang berhenti di stasiun Garahan. Pecel yang terakhir saya ketahui dibandrol 6000 rupiah per porsi nantinya disodorkan melalui jendela-jendela dan pintu kereta mirip kalau kita drivethru di restoran cepat saji.

Setali tiga uang dengan kondisi di dalam kereta. Para penumpang yang umumnya sudah hafal dengan fenomena tersebut segera mendekat ke jendela kereta yang saat itu masih bisa dibuka. Bagi yang tidak kebagian jendela, biasanya mereka menuju bordes. Bahkan, ada yang turun langsung agar lebih leluasa memilih. Lapar atau tidak bukan hal utama, karena terasa ada yang kurang pabila singgah di stasiun kelas 3 ini namun tidak mencicipi pecel Garahan.

Apabila ada pembeli, para pedagang langsung mengambil pincukan nasi sesuai jumlah pesanan, menaburi dengan sayuran yang tersedia, dan sambal pecel sebagai akhiran, oh ya...jangan lupa kerupuk sebagai pelengkap. Pranata cara penyajian tersebut dilakukan dengan kecepatan super. Jangan heran kalau pesanan 10 porsi pun bisa tersaji kurang dari semenit. Sebuah hukum keharusan karena "keretaku tak berhenti lama..."

Karena beragamnya sayuran yang disajikan dan keterbatasan waktu dan tempat untuk memilih, ada lelucon jamak yang terdengar antar penumpang setelah membeli pecel Garahan.
"Sampean oleh jangan opo?"
"Jangan kenikir karo cambah. Lha, sampean?"
"Ndekku godong kates. Pait"
"Hahaha...."
Dialog singkat pengakrab suasana antar penumpang yang tidak saling kenal nama. Tragisnya, dialog dan lelucon tersebut kini tinggal kenangan walau pecel Garahan sekarang tetap bisa dinikmati di warung-warung sepanjang jalan Desa Garahan.

Masih banyak sekali varian barang asongan DAOP ini yang tidak saya ceritakan. Misal tahu asin, tahu petis, telur puyuh, rujak manis dan pedas, keripik usus, hingga jasa tensimeter dan pulsa keliling.

Lalu pertanyaan besarnya sekarang adalah ke mana para pengasong tersebut setelah aturan larangan diberlakukan? Entahlah. Sedikit yang saya tahu, ada beberapa yang kemudian tetap mengasong di tempat wisata di sekitaran Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.

Humanisne masyarakat kereta tersebut kini telah tiada. Bukan hanya di DAOP 9 JR, juga di DAOP lainnya. Anak sekarang hanya mengerti tentang nasi goreng hambar ala restorasi kereta, Hokben, CFC, Roti O, Roti Boy, Alfamart, dan Indomart, serta pemodal besar lain yang kian masuk menjajah stasiun kita.

Yang mereka butuhkan adalah penataan, bukan pengusiran. Tapi, ahh....saya ini siapa. Saya hanyalah sebutir debu usang di antara luasan masyarakat kereta yang kian modern.

Kalau ada dari kalian yang mengenal eks pengasong kereta tersebut, tolong sampaikan salam kangen saya pada mereka. Semoga Allah Swt memberi mereka jalan yang lebih baik dan barokah ketimbang sebelumnya. Aamiin...

Wahyoko Fajar. Bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Bisa disapa melalui akun twitter @wahyokofajar